Home » » DPR Dukung Pengembangan PDAM

DPR Dukung Pengembangan PDAM

Para anggota DPR tampaknya memahami permasalahan sektor air minum yang masih sangat tertinggal di Indonesia. Mereka paham air sebagai kebutuhan hidup yang sangat mendasar sehingga perlu dan harus didukung pengelolaannya. Dan ketika tahu bahwa di sana sini banyak Pemda yang tidak paham sehingga sering menolak tarif full cost recovery, ada yang  menyarankan agar mengenakan sanksi bagi daerah bersangkutan berupa pemotongan DAU (Dana Alokasi Umum) pada APBD-nya.

Hal ini tercetus dalam sidang dengar pendapat Komisi V DPR dengan jajaran Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum yang berlangsung sekitar 7 jam pada tanggal 22 Februari di gedung DPR/MPR Senayan Jakarta.
    
Komisi V DPR membidangi sektor Perhubungan, Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat, Pembangunan Perdesaan dan Kawasan Tertinggal serta Meteorologi, Klimatologi dan Geofisik.

Ketua Umum Perpamsi Dr. H. Syaiful, DEA serta para direksi dari enam PDAM ikut hadir dalam sidang dengar pendapat tersebut. Keenam PDAM tersebut adalah PDAM Kota Palembang yang diwakili oleh Dr. Ir. Syaiful sendiri, PDAM Kota Jambi yang diwakili oleh Ir. Firdaus mewakili Direktur Utama Agus Sunara, PDAM Kota Semarang dengan Direktur Utama H. Sulistyo, SE, MM, PDAM Kota Bogor dengan Direktur Utama Drs. H. Memet Gunawan, PDAM Kota Malang dengan Direktur Utamanya H.M Jemianto dan PDAM Kabupaten Ciamis dengan Direktur Ir. Triani . Sedangkan dari jajaran PU, selain Dirjen Ir. Budi Yuwono dan jajarannya, hadir pula Ketua BPPSPAM Rachmat Karnadi dan jajarannya. Sidang dengar pendapat dengan topik Evaluasi Program/Kegiatan Cipta Karya 2009-2010 itu dipimpin oleh Ketua Komisi V, Taufik Kurniawan.

Sidang berlangsung lugas dan para anggota DPR sangat mendukung penyuksesan program keciptakaryaan, termasuk sektor air minum.Dukungan itu antara lain tampak dari  kesimpulan yang dibuat pada akhir sidang dengar pendapat. Di antaranya, Komisi V DPR mendesak Ditjen Cipta Karya dan BPPSPAM untuk meningkatkan program pinjaman perbankan dan kerja sama   pemerintah-swasta di bidang air minum untuk mempercepat pencapaian sasaran  pelayanan air minum. Komisi V DPR juga meminta Ditjen Cipta Karya untuk segera membuat evaluasi terkini terhadap PDAM di seluruh Indonesia menyangkut penggolongan PDAM, mana yang sehat, kurang sehat dan sakit, serta menyampaikannya ke Komisi V DPR untuk menetapkan kebijakan pemberian penghargaan dan sanksi (reward and punishment).

Dalam sidang dengar pendapat itu diusulkan agar Pemda yang mendukung perkembangan PDAM-nya diberi penghargaan (reward) dan sebaliknya Pemda yang tidak mendukung dikenai sanksi (punishment).
Secara umum dinyatakan bahwa Komisi V DPR mendukung program Sanimas, Pamsimas, sarana air minum setingkat IKK dalam rangka  pencapaian MDGs.

Berkaitan dengan pernyataan Ketua Umum Perpamsi dalam sidang dengar pendapat itu yang antara lain menyatakan bahwa bottle neck   pengembangan perairminuman di Indonesia adalah komitmen yang masih kurang dari para kepala daerah, Komisi V DPR  pada catatan kaki tujuh butir kesimpulan yang dibuat di akhir sidang menyatakan, bahwa Komisi V DPR akan mengagendakan rapat konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri terkait program penyehatan PDAM. Bahkan di sela-sela pemaparan  program baik oleh Dirjen Cipta Karya, Ketua BPPSPAM maupun Ketua Umum Kerpamsi, Ketua Komisi V DPR misalnya meminta jajaran Cipta Karya untuk menyampaikan masalah-masalah atau kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program,  agar DPR selaku lembaga politik dapat membantu secara politis, misalnya menyangkut undang-undang atau peraturan-peraturan yang dianggap perlu untuk diubah. Ketua Komisi V  antara lain berujar, ”Perlu masukan, ide-ide baru bahkan ide terobosan politis yang perlu diambil agar tidak business as usual.”

Hal ini disampaikannya mengingat masalah-masalah yang disampaikan dalam dengar pendapat di lembaga legislatif itu merupakan masalah klasik, sudah berulang-ulang disampaikan.
Renstra 2010-2014
Renstra (rencana strategis) pembangunan sektor air minum tahun 2004-2009 sebesar 39.000 liter per detik terealisasi sebesar 33.700 liter per detik atau sama dengan 84%. Demikian diungkapkan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya Ir. Budi Yuwono dalam paparannya.
Diakui, Renstra bidang air minum untuk periode 2005-2009 tidak sepenuhnya tercapai. Selain karena keterbatasan dana, juga disebabkan kurangnya komitmen Pemerintah Daerah mengalokasikan dana dalam pelaksanaan program pengembangan sektor air minum maupun sanitasi, infrastruktur desa dan pembangunan rumah susun sederhana.

Untuk periode lima tahun ke depan, 2010-2014,  Pemerintah akan meningkatkan pembangunan  prasarana dan sarana permukiman yang dikaitkan dengan upaya  perwujudan fungsi-sungsi kota sebagai pusat kegiatan nasional, wilayah, dan strategis nasional serta perwujudan keterkaitan dengan wilayah di belakangnya ( perdesaan).
Menyangkut air minum,  Renstra antara lain mencantumkan pengaturan,  pembinaan, pengawasan, pengembangan sumber pembiayaan dan pola investasi dan   pengembangan sistem penyediaan air minum dengan alokasi dana total Rp 12,187 triliun untuk periode 2010-2014. Itu meliputi:
- Pembangunan SPAM untuk MBR di 577 kawasan
- Pembangunan SPAM IKK di 820 kawasan (8.200 lilter per detik)
- Pembangunan SPAM kawasan perbatasan (pemekaran, KAPET)  di 100 kawasan (960 lit er per detik)
- Pembangunan  SPAM kawasan pelabuhan perikanan di 53 kawasan (310 liter per detik)
- Pembangunan SPAM perdesaan di 4.650 desa.
Khusus untuk tahun 2010,  pengaturan, pembinaan, pengawasan, pengembangan sumber pembiayaan dan pola investasi dan pengembangan sistem penyediaan air minum memerlukan biaya Rp 2,366 triliun, terdapat kekurangan sebesar Rp 591,4 miliar karena  rencana semula adalah Rp 1,774 triliun.
Program itu meliputi pembinaan teknis SPAM , bantuan teknis dan bantuan program penyehatan, pembangunan SPAM IKK, dan kawasan perbatasan, pembangunan                           SPAM MBR dan kawasan pelabuhan perikanan, dan pembangunan SPAM perdesaan (Pamsimas dan Rawan Air).
Penetapan program pembangunan khusus untuk tahun 2010 ini dimaksudkan agar  pelaksanaan Renstra tidak tertumpuk di tahun-tahun akhir nanti, melainkan dapat segera dilaksanakan tahun ini juga. Untuk kelancaran pelaksanaan Renstra tersebut, Dirjen mohon dukungan Komisi V, terutama nanti dalam penetapan APBD Perubahan, agar juga memperhitungkan biaya tambahan yang diperlukan untuk pemenuhan target.
Lima Pilar
Dalam pada itu disampaikan, bahwa bidang air minum Indonesia masih tertinggal jauh dengan  pencapaian cakupan secara nasion al baru 24%.terdiri atas 47% di perkotaan dan 11% di perdesaan.
Ketertinggalan itu juga diperparah oleh masih tingginya tingkat kehilangan air yang mencapai 33% secara nasional. Ini kata Dirjen sangat terkait dengan mutu pelayanan kaena tekanan air di jaringan perpipaan distribusi masih rendah. Di sisi lain lagi, tarif masih di bawah harga dasar.

Menurut Pak Dirjen, berbicara tentang pembangunan sektor air minum, kita dihadapkan pada sejumlah isu seperti daya dukung air baku yang semakin terbatas akibat pengelolaan daerah tangkapan air yang kurang baik. Sungai-sungai, terutama yang melintas di kota-kota, kondisinya semakin merosot, baik kuantitas maupun kualitas sehingga menyebabkan biaya pengolahan meningkat.

Selain itu menurut Dirjen Budi Yuwono, kapasitas kelembagaan terkait SPAM dan sanitasi masih lemah dan perlu ditingkatkan. Kita juga dihadapkan pada kesulitan pendanaan untuk pengembangan, operasional, dan pemeliharaan SPAM dan sanitasi karena rendahnya tarif dan tingginya beban utang PDAM. Maka   potensi masyarakat dan dunia usaha katanya perlu diberdayakan secara optimal.
Dijelaskan, ada lima pilar yang ditetapkan sebagai kebijakan dan strategi pengembangan sistem penyediaan air minum.Pilar pertama adalah peningkatan cakupan dan kualitas. Ada beberapa langkah yang  perlu diambil untuk mencapai hal ini, yakni meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan secara konsisten dan bertahap. Sementara itu                                                                                                                           upaya menurunkan tingkat kehilangan air sangat perlu  melalui perbaikan dan rehabilitasi. Hal lainnya, memprioritaskan pembangunan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Pilar kedua menyangkut pendanaan. Di bidang ini,   perlu meningkatkan   alokasi dana pembangunan sistem penyediaan air minum melalui alternatif sumber  dan pola  pembiayaannya. PDAM-PDAM sendiri katanya, perlu diperkuat kemampuan finasialnya.
Adapun pilar ketiga menyangkut kelembagaan dan peraturan perundangan-undangan.  .Ini menyangkut fungsi regulator dan operator penyelenggaraan SPAM yang  perlu diperkuat..Prinsip kepengusahaan  pada lembaga penyelenggara perlu diterapkan. Selain itu perlu penyusunan peraturan  perundang-undangan sebagai payung pendukung.

Pilar keempat menyangkut air baku.  Untuk hal ini dipandang perlu meningkatkan penyediaan air baku untuk kebutuhan air minum, meningkatkan  pengelolaan sumber daya air berbasis wilayah sungai, konservasi wilayah tangkapan air dan perlindungan air baku dari pencemaran.
Peran serta masyarakat merupakan pilar kelima dalam kebijakan dan strategi  pengembangan SPAM. Dalam hal ini menurut Dirjen, perlu ditingkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam penyeleggaraan SPAM.
Tarif Listrik dan Solar
Merespons tantangan yang disampaikan oleh Ketua Komisi V, usulan atau terobosan apa yang dapat dilakukan dalam memajukan PDAM, Ketua Umum Perpamsi Dr. H. Syaiful, DEA yang diberi kesempatan berbicara mengungkapkan, bahwa PDAM pada umumnya mengemban misi sosial yang lebih besar daripada misi bisnis. Terutama di kota-kota kecil dan sedang, fungsi sosial ini jauh lebih menonjol karena di kota-kota seperti itu masyarakat berpenghasilan rendah lebih banyak. Akibatnya, PDAM di kota-kota kecil dan sedang, bisnisnya tidak bisa lari kencang.

Salah satu penyebabnya menurut Syaiful adalah tarif listrik yang sangat tinggi, yang disamakan dengan tarif industri. Di sisi lain, air yang dijual lebih banyak dengan tarif sosial. Atas dasar ini ia mohon dengan sangat kepada DPR untuk membantu secara politis  agar tarif listrik yang dikenakan kepada PDAM jangan tarif industri melainkan tarif khusus. Ia tidak menuntut tarif yang lebih rendah dari tarif rumah tangga, namun dengan memberlakukan tarif yang sedikit di atas tarif rumah tangga saja, itu dianggap sudah memadai. Yang jelas katanya, janganlah dikenakan tarif industri yang dua sampai dua setengah kali di atas tarif rumah tangga. ”Masalahnya, sebagian besar air kami jual dengan tarif sosial,” ujarnya.

Ia juga minta perhatian DPR akan nasib banyak instalasi pengolahan yang tersebar di IKK (Ibu Kota Kecamatan) yang belum terjangkau aliran listrik. Dikatakan, karena belum terjangkau aliran listrik PLN maka  PDAM harus menggerakkan instalasinya dengan genset yang banyak menyedot bahan bakar solar. Lagi-lagi kata Syaiful, solar bagi kebutuhan PDAM dikenai tarif industri yang mahal sekali. Sedangkan kalau membeli solar di stasiun pengisian minyak dengan ketengan seperti menggunakan jerigen dengan harga umum, akan ditangkap polisi seperti yang sudah dialami sejumlah PDAM.

Oleh karena itu Syaiful  sangat mengharapkan bantuan DPR yang bersama-sama Pemerintah dapat membuat kebijakan khusus agar tarif minyak solar buat PDAM adalah tarif biasa (tarif umum). Alasannya, IKK di perdesaan itu mempunyai pelanggan dari kalangan rakyat berpenghasilan rendah, maka tarifnya pun sangat rendah sehingga instalasi di IKK itu tidak mampu menutup biaya solar. ”Menutupi biaya operasionalnya saja tidak cukup, dan jumlah instalasi seperti itu sangat banyak,” ujar Syaiful minta perhatian. Sekaligus digambarkannya, bahwa dari angka 372, tidak kurang dari 280 PDAM yang beroperasi di berbagai IKK alias perdesaan.
Maka sekali lagi ia mohon bantuan DPR agar PDAM tidak dikenakan biaya industri baik untuk listrik maupun untuk bahan bakar solar.
Promosikan Perpamsi
Forum dengar pendapat dengan wakil-wakil rakyat tersebut juga dimanfaatkan oleh Ketua Umum untuk menjelaskan secara ringkas tentang Perpamsi, yang jumlahnya sudah mencapai 372. Dijelaskan, dari angka itu ada yang baru terbentuk akibat pemekaran wilayah. Tugas  Perpamsi adalah mendukung dan membantu misi Pemerintah dalam membangun sektor air minum khususnya dalam pencapaian MDGs 2015 maupun tambahan 10 juta SR, mengingat hingga kini jumlah sambungan rumah yang ada di seluruh Indonesia baru mencapai 7,6 juta.

Ia mengatakan, sektor air minum sangat tertinggal dibandingkan misalnya dengan PLN (38 juta pelanggan) dan Telkom yang pelanggannya sudah mencapai 100 juta. ”Padahal kita tahu, air minum merupakan kebutuhan manusia yang sangat pokok,” katanya.
Yang jelas katanya, Perpamsi bertugas membantu PDAM dalam melayani masyarakat pelanggan, serta membantu penyehatan PDAM yang belum sehat.

Dijelaskan, bahwa dalam tiga tahun terakhir, kemajuan yang dicapai memang cukup bagus berkat bantuan Pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Sekarnag ini jumlah PDAM yang sehat telah mencapai 104 dari 372, jadi kira-kira 30%. Sebagai pembanding, ia menjelaskan bahwa pada tahun 2006, jumlah PDAM yang sehat hanya 55, naik menjadi 80 pada tahun 2007 dan tahun 2008 naik lagi menjadi 104. Ditargetkan, jumlah yang sehat pada tahun 2014 paling tidak mencapai 70% sampai 80%.
Ketua Umum menegaskan, adalah tugas Perpamsi membantu agar PDAM menjadi sehat melalui pelatihan-pelatihan maupun bantuan dalam memperbaiki aspek teknis, manajemen. Keuangan, kelembagaan dan sebagainya.

Seperti yang juga disampaikan oleh Dirjen Cipta Karya, Ketua Umum Perpamsi mengatakan bahwa salah satu masalah besar yang dihadapi PDAM adalah kesulitan air baku, khususnya untuk beberapa kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa masalah air baku merupakan masalah hidup-mati PDAM. Sebab jika suatu PDAM kehabisan air baku, maka habislah PDAM itu, seperti yang berlaku untuk Jakarta, Semarang dan lainnya.
Hal ini disampaikan untuk minta perhatian khusus DPR, karena menurut Syaiful, masalah air baku itu tidak mungkin diselesaikan sendiri oleh PDAM.

Masalah kebocoran yang merupakan masalah besar lainnya di lingkungan PDAM menurut Syaiful memang juga merupakan keprihatinan Perpamsi, dan ini akan diatasi dengan sungguh-sungguh melalui berbagai langkah mulai dari pelatihan-pelatihan, mencari donor untuk membantu di bidang capacity building dan sebagainya. Dikatakannya, Ditjen Cipta Karya sendiri dan BPPSPAM telah banyak membantu untuk mengatasi masalah ini, termasuk juga berbagai negara donor.
Ketua Umum juga menyampaikan masalah utang yang selama ini membelit banyak PDAM. Dalam hal ini ia menyatakan rasa syukur bahwa dari 130 PDAM yang sudah mengajukan pemohonan restrukturisasi utangnya, sebanyak 15 sudah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Bagi PDAM-PDAM besar yang utangnya sangat besar, secara khusus Ketua Umum Perpamsi minta bantuan DPR untuk memperlancarnya, karena untuk jumlah di atas Rp 100 miliar, memang diperlukan persetujuan DPR bagi penghapusannya. Ia menyebut beberapa di antaranya yang memiliki utang pokok dan non pokok di atas Rp 100 miliar setelah ”cut off date” 2008 seperti PDAM Kota Semarang, PDAM Kota Makassar, PDAM Kota Bandung dan PDAM Kabupaten Tangerang.

Kepada anggota-anggota DPR itu Syaiful menjelaskan bahwa utang non pokok PDAM sudah jauh lebih besar dari utang pokok. Sebagai contoh, utang pokok PDAM Kota Palembang Rp 54 miliar, namun utang non pokoknya sudah mencapai Rp 154 miliar.  Ia mohon dengan sangat bantuan DPR agar utang non pokok yang melebihi Rp 100 miliar itu dapat dihapuskan, karena sesuai dengan ketentuan yang ada, utang di atas Rp 100 miliar harus mendapat persetujuan DPR bagi penghapusannya.
Masalah penting lainnya yang dimintakan perhatian Komisi V DPR adalah masalah undang-undang BUMD yang sampai sekarang belum ada. Aakibatnya, demikian Syaiful, PDAM sampai hari ini masih harus mengacu  ke Undang-undang tahun 1962 yang sudah  ketinggalan zaman.
Dijelaskan, bahwa menurut Dirjen BAKN Kementerian Dalam Negeri, rancangan undang-undangnya (RUU BUMD) sebenarnya sudah disampaikan ke pihak Legislatif. Maka diharapkan agar Komisi V DPR dapat mempercepat proses RUU tersebut menjadi undang-undang yang memang sangat dinanti –nanti, tidak saja oleh PDAM, tetapi juga oleh Badan Usaha Milik Daerah lainnya seperti PD Pasar, Bank Daerah dan sebagainya.
Kenapa PDAM Sakit
Terasa istimewa, bahwa forum dengar pendapat lembaga tinggi negara itu memberi kesempatan bagi pimpinan sejumlah PDAM untuk memaparkan kondisi PDAM masing-masing. Mereka mewakili PDAM yang sehat, kurang sehat dan sakit.
Hal itu menurut pimpinan sidang dianggap perlu untuk mendapat gambaran, kenapa PDAM bisa sehat, dan kenapa PDAM lainnya tidak. Itu katanya diperlukan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi DPR dalam mengambil langkah-langkah politis yang perlu untuk mendukung upaya penyehatan PDAM.

Direktur Utama PDAM Kota Bogor Drs. Memet Gunawan yang mendapat kehormatan mewakili PDAM sehat  mengungkapkan, intinya terletak pada  komitmen yang kuat dari Pemda dan mitranya, yakni DPRD. Wujud dukungan itu tampak pada Perda yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bogor menyangkut PDAM jauh sebelum PP16/2005 dikeluarkan Pemerintah, yang antara lain membolehkan PDAM menaikkan tarif setiap tahun  mengacu kepada tingkat inflasi. Wujud lainnya adalah suntikan dana segar – antara lain Rp 6 miliar – dari Pemerintah Kota Bogor sehingga PDAM tidak perlu menunggak pembayaran utang, dan utangnya pun masuk kategori lancar.

Berkat dukungan itu menurut Dirut PDAM Kota Bogor, dalam empat tahun terakhir tarif naik empat kali tanpa mengalami gejolak.
Selain itu katanya,  PAD tidak terlalu dituntut dari PDAM Kota  Bogor. Yang penting, pelayanan air minum bagi warga Kota Bogor dapat ditingkatkan.
Tarif disesuaikan tiap tahun, utang lancar, pelayanan terus ditingkatkan, maka PDAM tidak mengalami hambatan besar dalam meningkatkan kinerjanya. Itulah menurut Memet Gunawan kunci utama PDAM itu menjadi sehat. Dan ... katanya lagi, berkat utang lancar itu, Kementerian Keuangan bahkan memberi ”hadiah” berupa pemotongan bunga utang dengan 2,5%, ditambah lagi pemberian insentif sebesar Rp 45 miliar bagi investasi pengembangan.   .
Mewakili PDAM yang kurang sehat,  Ir. Firdaus .mewakili Dirut PDAM Kota Jambi mengatakan, sama seperti PDAM Kota Bogor, kuncinya memang ada pada komitmen Pemda dan DPRD. Namun untuk PDAM Kota Jambi katanya,  sudah tiga tahun terakhir tidak pernah naik tarif. Tarif Rp 2.800 sedangkan biaya produksi sudah mencapai Rp 3.500. Makanya ia mengumpamakan PDAM Kota Jambi bagaikan orang yang makan tiga kali sehari tetapi kurang tidur karena masih harus menjalani pengobatan.

Di Jambi katanya ada sesuatu yang aneh. Perda tentang sambungan liar  ancaman hukumannya hanya berupa denda Rp 7.500. Perda tersebut jelas sudah usang, sehingga dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Jambi memang belum punya komitmen yang kuat memajukan PDAM-nya.
Namun ia berharap seperti yang telah disampaikan oleh Ketua Perpamsi, semoga UU BUMD cepat diproses dan diundangkan sehingga ada payung hukum yang kuat bagi PDAM bergerak ke arah yang lebih baik menuju ke kondisi yang sehat. Untuk itu ia juga minta dengan sangat agar Komisi V DPR mempercepat proses penerbitan undang-undang tersebut.
Sementara itu H. Sulistyo, SE selaku Direktur Utama PDAM Kota Semarang mewakili PDAM sakit memberi contoh bagaimana suatu PDAM jadi sakit. Ia menjelaskan, secara perusahaan sebenarnya PDAM Kota Semarang sudah bangkrut karena asetnya sebesar Rp 400 miliar kira-kira sama dengan utangnya yang sekitar Rp 400 miliar. PDAM ini penghutang nomor dua terbesar, yang dalam proses restrukturisasi utang berharap penghapusan sebesar Rp 238 miliar.

Masalah yang dihadapi PDAM ini menurut Sulistyo antara lain menyangkut regulasi yang berdampak buruk terhadap distribusi air bersih. Jumlah produksi PDAM ini  katanya 7 juta meter kubik,  sementara yang terjual hanya 3,1 meter kubik sehingga ada idle capacity  yang  sangat besar.
Kenapa tidak terjual, karena industri, perusahaan niaga, bahkan juga banyak kantor-kantor pemerintah lebih senang membuat sumur bor dalam untuk kebutuhan airnya.

Dalam hal ini ia mengharapkan bantuan DPR agar di Semarang dilarang melakukan pengeboran air tanah, apalagi mengingat ”rob” alias banjir disebabkan pasang air laut sudah semakin menggila.
Ia berharap dibuat suatu regulasi di Semarang , yang mengenakan tarif air sumur bor dalam  setidak-tidaknya sama dengan tarif air bersih PDAM.

Menyangkut air baku pun, Sulistyo mengatakan, lagi-lagi memerlukan regulasi yang mendukung. Dijelaskan, untuk mengatasi kesulitan air baku, Pemerintah memang sudah mengupayakan pasokan air baku dari Bendungan Jatibarang khusus untuk mengatasi kekurangan pasokan untuk Semarang bagian barat. Tetapi bagaimana nanti PDAM Kota Semarang menjual produksi air bila industri, niaga dan perkantoran masih bebas mengambil air dari sumur bor dalam?
Selebihnya, ia mengharapkan DPR mempercepat proses penerbitan UU BUMD yang sekarang baru berupa RUU agar ada landasan yang kuat dalam mengelola PDAM. Victor Sihite

Ditulis oleh   : Victor Sihite
Diambil dari :  Perpamsi
Bagikan artikel via :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PRAPATAN KERTEK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger